Fundamentalisme Badar

Esai - 05
Kamis, 7 Desember 2017
Oleh : Marzuki Ibn Tarmudzi


Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi

 “Lha trus, mau mu gimana to, Mas?” tanya Pakde Waringin kepada Mas Bejo.

Mas Bejo hanya diam tampak tidak semangat. Loyo dan pucat pasi. Mas Bejo bangkrut. Gara-gara gagal dalam percaturan pemilihan kepala Desa. Kemarian ia habis-habisan. Nekat jual sawah, sapi dan menggadaikan properti berharga lainnya.  Dalam kampanyenya, ia tak segan-segan membeli suara dengan harga yang fantastis. Bayangkan, jika satu desa penduduknya 3000 suara. Berapa yang harus dikeluarkan untuk memenuhi ambisinya? Sementara ia tidak mau mengaca bahwa ia bukan dari golongan yang banyak uang.

“Kamu itu lho, ditanya orang tua kok, nggak mau ngomong, mbok yo ngomong, apa rencanamu selanjutnya”, tanya Pakde Waringin lagi sembari tersenyum, namun Mas Bejo masih tampak tidak bersemangat.

Hari-hari sebelum pemilihan kepala Desa itu, Mas Bejo tampak positif thiking. Baginya, berpikir positif itu keharusan. Bahkan, ia tidak memperdulikan hasil survey dari orang-orang loyalnya tentang : popularitas, kapabilitas, dan kapasitasnya. Yang mengatakan : ia tidak cukup mampu mendulang suara, bahkan untuk mencapai prosentase 15%. Ia tidak menggubris. Malahan, ia menghalalkan segala cara : membeli suara, menyebar propaganda. Ya, Black campaign : menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong kepada lawan politiknya.

Bahwa Mas Bejo tidak cukup pintar membaca masyarakat jaman now, yang cukup pandai beradu akting : masyarakat sih mau-mau aja diberi sejumlah uang, tapi itu bukan berarti harus taat untuk memilih si pemberi uang. Bagi mayorias masyarakat: Ini uang bukan soal demokrasi ya.

Pakde Waringin melanjutkan : “apa kamu ingin semua harta yang kau jual itu kembali lagi. Kalau iyya, berarti kamu memang orang yang bermental lemah. Orang seperti kamu memang belum siap menjadi pemimpin. Untung kamu tidak jadi lurah di sini, mau dibawa kemana desa ini?”

Mas Bejo sedikit tersentak dengan ucapan Pakde Waringin itu. Namun, karena ia datang kerumahnya untuk meminta pencerahan, ia pun harus menerima ucapan pahit getir orang yang diseniorkan di kampung itu.

“Trus, sebenarnya niat kamu mengikuti pemilihan kepala desa itu apa to, Mas?”, Pakde Waringin terus aktif berbicara supaya Mas Bejo bisa tergali.

Lagi-lagi Mas Bejo masih bungkam bicara. Namun, sebenarnya Pakde Waringin sudah bisa menebak arah pikiran Mas Bejo. Ia masih muda. Belum banyak makan garam. Semangatnya belum dibarengi dengan pemikiran yang matang.

Pakde Waringin melanjutkan : “Kalau niatmu mencalonkan diri menjadi lurah karena ingin dipuji-puji orang, maka kamu sudah selesai sampai di sini. Tapi kalau niat kamu ingin memperjuangkan masyarakat, maka jalanmu masih banyak. Apalagi, jika niat kamu dalam berjuang bertujuan karena berbakti kepada Allah, pasti Allah akan menolongmu. Apa yang kamu hadapi itu belum seberapa, Mas”

Mas Bejo memandang Pakde Waringin dengan serius gara-gara kalimat terakhir itu. Jelas-jelas sekarang sedang bangkrut malah dibilang belum seberapa. Pakde Waringin pun juga memandangi Mas Bejo dengan serius, sembari meneruskan ucapannya:

“Kau pasti pernah mendengar, semangatnya pemuda-pemuda Islam yang menuju bukit Badar untuk memperjuangkan Islam. Mereka menempuh perjalanan sekitar 130 kilo meter. Bayangkan, bagaimana loyonya mereka? pemuda-pemuda itu jalan kaki tidak naik sepeda motor seperti kid jaman now. Bagaimana tidak lecet-lecet kaki mereka sesampai di sana. Semangat, keikhlasan, kesabaran tetap bersama pemuda-pemuda Islam itu. Dan, secara perlengkapan militer pasukan Islam kalah 10 kali lipat dengan musuh. Namun pucuk pempinan mereka mengatakan : ‘Ya ayyuhannas innama tunshoruna wa turkhamuna wa turzaquna bidhu’afaaikum. Wahai umat Islam kalian akan diberi pertolongan oleh Allah. kalian akan diberi kemenangan oleh Allah. Kalian akan diberi rizqi oleh Allah.”

Mas Bejo mulai tampak aura semangatnya. Senyumnya sudah sedikit mengembang. Ia mulai menikmati pencerahan dari Pakde Waringin. Ia merasa sudah datang kepada orang yang tepat. Ia merasa sedang berada dalam kondisi yang gelap di tengah-tengah rawa. Jangankan untuk berjalan, untuk bergerak saja sulit. Jika bergerak bisa-bisa malah terpendam di rawa. Ia membutuhkan cahaya dan tali. Dan bagi Mas Bejo, Pakde Waringin sudah memberikan cahaya dan tali. Cahaya dan tali itu adalah meneguhkan keimanan kepada Allah Swt. Ia baru sadar bahwa ambisi politik telah mengotori keimanannya

Pakde Waringin melanjutkan kuliahnya : Dan secara analisa orang-orang modern yang suka membanggakan otaknya, mereka akan kalah dalam berperang. Lha wong militer Islam hanya terdiri atas 313 personel, dua orang diantara mereka berkuda dan tujuh puluh orang berunta, sedangkan lainnya adalah pasukan jalan kaki. Mereka tidak memiliki semua senjata dan perlengkapan yang diperlukan. Sedangkan pasukan musuh pada hari itu, terdiri atas kurang lebih antara 900 sampai 1000 personel. Semuanya memakai baju besi, bertopi baja disertai dengan senjata lengkap dan kuda-kuda yang terlatih dengan semua perhiasan yang berlebih-lebihan. Dan Allah Ta’ala memberikan kemenangan kepada muslimin. ‘Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, Padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (QS. Ali Imron [3]: 123)[1]

“Lalu, apa yang harus saya usahakan dalam menghadapi permasalahan yang terus bertubi-tubi ini, Pakde?”,

Mas Bejo mulai mau ngomong dan wajahnya tampak putih berseri. Ia sudah menemukan keteguhan keimanannya kembali. Ia bersemangat. Ia ingin lagi berlari menerobos mara bahaya. Ia ingin lagi memecahkan misteri kehidupan. Ia mendamba lagi menyelesaikan tantangan-tantangan hidup yang tak tertebak.  Ia merindukan lagi mendobrak tatanan-tatanan nyaman dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain. Ia berencana lagi memukul mundur iming-iming gemerlap kehidupan dunia yang menipu. Mas Bejo bangkit dengan cahaya iman.

“Balaa in tashbiruu wa tattaquu wa yaktuukum min faurihim hadza yumdidkum robbukum bikhomsati alafin mina al-malaikati musawwimiin.[2] Ya , jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda”, Pakde Waringin membacakan ayat 125 suroh Ali Imron itu dengan tartil yang merdu dan mengartikannya.

“Berlatihlah untuk sabar dan bersiap-siaga, Mas Bejo. Jadi, semangat perang badar adalah semangat ikhlas, tanpa pamrih. Maka meraih kemenangan. Meskipun jumlah muslimin lebih sedikit. Sedangkan perang uhud ada pamrih ghonimah, maka mendapat kekakalahan. Padahal jumlah muslimin lebih besar. Hadapi gelombang kehidupan dengan semangat perang badar, Mas. Oke! Cemungud!”, Ucap Pakde Waringin, sembari mengepalkan tangan ketika mengucapkan kata yang terakhir itu.




[1] وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ بِبَدْرِ وَأَنْتُمْ أَذِلَّة فَاتَّقُوا اللهَ لَعَلّكُمْ تَشْكُرُوٌنَ


[2] بَلىَ اٍن تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ ءَالَفِ مِنَ المَلَىٍكَةَ مُسَوِّمِين



(Ya Allah, jadikanlah hambamu sebagai hamba yang selalu menyampaikan kebenaran-Mu)

Judul terkait :
# CINTA KEPADA ALLAH, # KAPAN PERTOLONGAN ALLAH, # JERIH PAYAHNYA KEHIDUPAN DUNIA, # BELAJAR DARI PERANG BADAR, # SEJARAH PERANG BADAR, WACANA MARZUKI : PERANG BADAR

Baca juga yang lain :














Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.