Mimpi Siang Bolong Si Cewek Cantik, Menyambut tahun 2018, Mendamba Transformasi Masyarakat Yang Madani

Esai :  16

Cerita Islami, Esai Dakwah, Sabtu, 30 Desember 2017

Author : Marzuki Ibn Tarmudzi



Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi
Inna Ataa Bika tampak mondar-mondar di depan gedung fakultasnya seusai keluar kelas tadi. Siang yang cerah. Kampus masih terlihat lengang sehabis liburan. Teman-teman yang biasanya mengerubutinya juga pada belum masuk. Dari parkiran ia langsung memacu motornya keluar kampus melewati bawah KRL, sekitar satu kilo dari kampus ia memasuki Green Cafe` atau Kafe` Hijau. Sebuah Kafe yang seperti berada di tengah hutan. Di sana-sini suasananya dikondisikan laiknya di dalam hutan. Sesampai di depan Kafe`, ia begitu sumringah melihat kondisi Kafe` yang lengang. Sigap sekali ia sudah memesan minuman blueberry shake, dan kue penunda lapar  tiramisu delight, ditambah opera cake. Lalu memilih menghempaskan pantatnya di lesehan yang berada di pojok, lebih rileks sembari membuka laptopnya.


“Ni minumnya, Mbak. Kok lama nggak nongol?”, ujar waitress itu

Ina hanya tampak mengangguk dan tersenyum dengan pelayan Kafe` itu. Memang, sudah 2 bulan Ina tidak mengunjungi Kafe` itu, setelah hampir 1 bulan lebih 20 hari menikmati libur kuliahnya. Kemarin ia baru saja tiba di asrama dan hari ini adalah hari pertama masuk. Tak heran, ia masih mencium bau-bau kampung Kaligarung.

Begitu menatap laptop perempuan yang duduk di semester empat fakultas ekonomi UI, kampus Depok itu tampak lebih tenang. Cekatan mengkoneksikan laptopnya dengan wifi di Kafe` itu. Adalah sudah menjadi adatnya  ia menancapkan peralatan wireless mouse di laptopnya. Ia merasa kikuk jika mengoperasikan laptop tanpa mouse. Tangannya menggerak-gerakkan mouse dan membuka jaringan internet. Senyumnya terkembang laiknya layar terkembang di perahu yang tertempa angin. Ia membuka blog pribadinya dan mengclik create new dan jari jemarinya bergerak-gerak di atas keyboard memulai menulis :

Mengapa ya, beberapa manusia dari dulu hingga sekarang memikirkan tentang cita-cita membentuk masyarakat yang berkeadaban? Apakah itu bukti bahwa manusia adalah makhluk yang berakeadaban. Maka, akan dimarjinalkan oleh mayoritas masyarakat jika ada segelintir manusia yang berusaha membikin kisruh. Misalnya preman, freeman yakni manusia yang ngotot berjalan bebas tanpa mau mengikuti aturan masyarakat yang semestinya, dan muncullah sebutan sampah masyarakat.

Dalam sejarah pemikiran filsafat, impian pembentukan masyarakat yang berkeadaban ini juga telah digaungkan oleh Aristoteles, yang hidup kurun waktu 384-322 SM. Ia meneriakkan koinonia politike, menggambarkan masyarakat politis dan etis, yang warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Cita-cita Aristoteles itu pun hingga hingga kini, saya rasa juga belum terwujud di negeri yang saya huni ini. Hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kelihatan sederhana sekali cita-cita Aristoteles itu, namun hal itu adalah kunci utama terbentuknya masyarakat yang berkeadaban. Terlulu muluk memang,  memikirkan tentang swasembada pangan, menggalakkan pembangunan, mencerdaskan anak bangsa dan seterusnya, jika cita-cita Aristoteles yang kelihatan sederhana itu belum terwujud.

Pada abad 7 Masehi, di tanah Arab muncullah pemikir sekaligus penggerak yang memperjuangkan suatu masyarakat berkeadaban, yakni Nabi Muhammad Saw.  Maka, terbentuklah kota Madinah, yang dulunya kebun kurma yang luas lalu menjelma menjadi kota maju yang lebih beradab.

Pada Abad ke 17 Masehi, dalam era awal modern itu, cita-cita membentuk masyarakat yang berkeadaban juga tidak lelah diteriakkan oleh  John Locke. Di mana ia melihat berkembangnya dunia industri dan kapitalisme, ia pun berusaha melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.

Saya sebagai orang Islam lebih tertarik memahami masyarakat yang berkeadaban ditengok dari segi khazanah kekayaan Islam. Penyebutan kata ‘masyarakat” dalam bahasa arab mengacu pada beberapa istilah, yakni: ummah, qoum, syu’ub, kabilah, tha’ifah, dan jama’ah.

Khusus penyebutan ummah bagi kalangan Muslim, Al-Qur’an memberikan berbagai istilah, yaitu khoiro ummah, ummah wahidah, ummatan wasath, dan ummah muqtashidah.

Umat Islam disebut khoiro ummah atau sebaik-baik umat (QS. Ali Imron [3]: 110)[1] bilamana menjalankan beberapa fungsi sosial berupa ama ma`ruf nahi munkar. Menurut Kuntowijoyo, amar ma`ruf ini berarti melakukan gerakan transformasi Islam melalui humanisasi, dan emansipasi. Sedangkan nahi munkar bermakna liberasi atau pembebasan. Karena keduanya tak bisa dilepaskan dalam kerangka keimanan, maka tak bisa dipisahkan dari transendensi.

Penyebutan kata ummah wahidah yang berarti umat yang satu (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 213)[2] bisa dimaknai sebagai asl-usul umat manusia. Asal-usul umat manusia ini semula adalah satu, lalu setelah terjadi perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira bagi umat yang beriman dan peringatan bagi mereka yang ingkar. Dalam konteks umat Islam, indikasi ummah wahidah ini hendaknya dapat diimplementasikan pada persatuan dan kesatuan umat, suatu hal yang belakangan ini kian memudar.


Penamaan ummah wasath yang berarti umat pertengahan atau moderat, atau umat yang adil dan pilihan, agar menjadi saksi atas perbuatan manusia, dan agar Rasul (Muhammad saw.) menjadi saksi atas perbuatan kalian (Q.S. Al-Baqoroh [2]: 143)[3]. Menurut Kuntowijoyo, posisi tengah umat Islam ini dapat dilihat pada tingkat geografis dan historis, dimana secara geografis umat Islam lahir di Timur Tengah yang terletak ditengah-tengah antara peradaban Barat (Romawi) dan timur (Persia). Secara historis, sejarah klasik Islam terbukti berhasil menaklukan jajahan Romawi dan Persia, sehingga Islam bisa membentang dari Spanyol sampai India. Posisi tengah umat Islam juga tampak dari tikat budaya, dimana Islam mengambil yang terbaik dari unsur duniawi dan ukhrowi, sebagaimana hal ini tercermin dalam do’a kita sehari-hari “Robbana atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhiroti hasanah”.[4] Ini berbeda dengan sebagian ideologi yang secara timpang memandang sesuatu hanya dari dimensi duniawi saja, misalnya kaum materialis dan ateis, atau ukhrowi saja seperti kaum spiritualis dan idealis. Posisi keseimbangan ini masih bisa dikembangkan lebih lanjut, misalnya keseimbangan antara ilmu dan amal, jasmani dan rohani, agama dan umum, material dan spiritual, dan sebagainya. Menurut Rasyid Ridla, jika posisi tengah tersebut dijalankan oleh umat Islam maka mereka pantas menjadi saksi atas perbuatan manusia umumnya.

Tidak jauh beda dengan itu, kata ummah muqtashidah berarti umat yang lurus,sedang, pertengahan, sederhana, bertujuan, dan tidak terjebak pada titik ekstrim. Akan tetapi, rujukan um mah muqtashidah ini dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 66 dinisbatkan kepada sub-komunitas Yahudi dan Nashrani yang memiliki Kitab Suci Taurat dan Injil. Bila diperhatikan dari segi makna kata ummah muqtashidah yang tidak jauh beda dengan ummah wasath, maka istilah tersebut dapat dipakai bagi umat Islam.

Masih ada dua lagi kata yang menunjukkan sekumpulan manusia atau masyarakat, yakni tha’ifah dan jama’ah. Tha’ifah, merupakan representasi dari kelas masyarakat, faksi atau partai tertentu yang menganut ideologi yang sama.[5] Tha’ifah bisa juga diartikan sekumpulan orang atau golongan (firqoh) yang dipersatukan oleh aliran, madzhab, ideologi atau sekte.[6] Dan jama’ah berarti kolektif atau sekumpulan orang atau sejumlah besar orang yang dipersatukan oleh kesamaan tujuan.

Lantas, bagaimana kondisi bangsa Indonesia kini supaya lebih berkeadaban? Konsep masyarakat berkeadaban dalam khazanah Islam, mungkin tidak jauh beda dengan yang diucap Dato Seri Anwar Ibrahim pada 26 september 1995  silam di Masjid Istiqlal Jakarta, tentang masyarakat madani. Beliau mendamba sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.

Perihal penamaan masyarakat madani ini, saya pernah bertanya kepada Pakde Waringin. Namun beliau malah menjawab layaknya pelawak.

“Masyarakat madani atau madhani? Kalau masyarakat madani, berarti masyarakat yang suka mengejek. Tapi kalau masyarakat madhani, itu madhani masyarakat yang mana?”

Dalam bahasa jawa madani artinya memang menjuluki. Sedangkan madhani artinya menyamai. Namun jawaban Pakde Waringin itu, bagi saya seperti sekam dalam api yang terus bergelora dalam pikiran. Iya sih? Masyarakat madani itu madhani yang mana?

Tentu saja kata “madani” akan meloncatkan pikiran saya ke suatu kota yang terletak di negeri yang banyak ditemui padang pasir, Arab Saudi sana, kota Madinah. Sebuah daerah yang awalnya bernama Yatsrib, kemudian yang ditransformasi oleh Nabi Muhammad Saw, menjadi kota yang adiluhung, kota yang bersinar bak lampu yang memancarkan cahaya dimalam hari : Madinah Al-Munawwaroh.

Thus, suatu negeri yang memimpikan masyarakat yang madani harus memotret Madinah. Yakni suatu negeri yang damai, aman, sejahtera. Secara fisik mempunyai pembangunan yang lebih tertata rapi dan berkeadaban. Penduduknya punya semangat keagamaan dan mempererat ukhuwah islamiyah. Dan yang terakhir seperti yang diimpikan Aritoteles yakni penegakan supremasi hukum.

Apakah negara Indonesia sudah layak dijuluki suatu masyarakat yang madani? Menurut saya Indonesia sedang berproses menuju masyarakat yang madani. Atau mungkin, masyarakat seperti itu hanyalah masyarakat dalam idealisme saja? Ah, saya memang tengah dilanda pesimisme akhir-akhir ini. Maksud saya mungkin, tak ada gading yang tak retak, tidak ada suatu negeri yang sempurna tanpa kritik.

Maka, berproses menuju masyarakat yang idealisme itu memang dibutuhkan beberapa pilar: Lembaga swadaya Masyarakat yang berfungsi memperjuangkan aspirasi masyarakat dan empowering, pemberdayaan terhadap masyarakat. Kedua pers, sebagai social control yang dapat menganalisa dan mempublikasi kebijakan pemerintah. Ketiga adalah peran civitas akademika dalam mengeluarkan kritik dan saran terhadap kemajuan negeri. Keempat, ketundukan setiap warga negara terhadap aturan negara. Kelima, keberadaan partai politik sebagai kendaraan menyalurkan aspirasi.

“Hey Mbak Ina, kapan datang?”

Sekonyong-konyong Ina dikagetkan sapaan. Ia menoleh dan membalas sapaan itu. Mereka berdua bercakap sebentar lalu cewek yang kelihatan temannya itu berpamitan mau pesan makanan dulu. Tampak cewek teman Ina itu beranjak dan Ina dalam lirih berujar: Untung tulisanku udah bisa dibilang klimaks. Uh!

(Ya Allah Ya Gusti, jadikanlah hambamu ini sebagai hamba yang saleh)

Tag:
Masyarakat madani, masyarakat beradab, Indonesia baru,




[1] QS. Ali Imron [3]: 110
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُونَ :١١۰

[2] Q.S. Al-Baqoroh [2]: 213
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وٰحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَا اخْتَلَفُوا۟ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِۦ ۗ وَاللهُ يَهْدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ :٢١٣

[3] Q.S. Al-Baqoroh [2]: 143
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ ۗ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمٰنَكُمْ ۚ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ :١٤٣

[4] Q.S. Al-Baqoroh [2]: 201
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْءَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ :٢۰١

[5] Lihat Q.S. Ali Imron [3]: 69
وَدَّت طَّآئِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ :٦٩

[6] Lihat Q.S. Al-Hujarot [49]: 9.
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقٰتِلُوا۟ الَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ اللَّـهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿الحجرات:٩

Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.