Munajat Si Satpam Ganteng, Formulasi Kemesraan dengan Allah Ta’ala, antara Do’a dan Ijabah.

Esai 16
Cerita Islami, Esai Dakwah, Sabtu, 30 Desember 2017
Author : Marzuki Ibn Tarmudzi

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الالحاح في الدعاء موجبا ليأسك ؛ فهو ضمن لك الاجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك ؛ وفي الوقت الذي تريد
“Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdo`a, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan do`a) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.” (Al-Hikam Pasal 6) 




Ngopi dan Ngaji : Berguru kepada Sang Nabi
Seorang satpam ganteng gagah sedang berjaga di pos depan milik Bank besar di negeri ini : Bank Qothan. Dengan wajah yang mecucu[1] laiknya emak-emak sehabis kecopetan di angkot. Matanya melotot mengawasi kendaraan masuk keluar dari halaman Bank itu.

Meski fokus  berjaga ia masih sempatkan sering-sering menatapkan wajahnya pada rumah sederhana di depan tempat dinasnya, di seberang jalan itu. Entah, apa yang dipikirkan. Rumah sederhana itu memang nampak suwung[2] lama sekali. Terlihat dari kaca-kacanya yang berdebu, halamannya yang berserakan daun-daun mangga karena ada pohonnya di depan rumah itu.

Sore hari ia pulang menempati asrama dengan luas kamar 4x3 M, sempit dan sederhana yang di tempati bersama istrinya. Tukang becak di depan Bank itu mengisahkan, bahwa satpam itu baru tiga bulan menikah dan menempati asrama itu.

Baca Artikel Lain:

Keesokan harinya, si satpam itu nampak sekali senyumnya terkembang. Berbeda dengan hari kemarin yang suram. Dan masih si satpam itu sering-sering memperhatikan rumah di depan itu. Namun, memang ada yang beda dengan rumah itu. Hari ini rumah di depan itu bertuliskan : RUMAH INI DI JUAL HUBUNGI SUDIRMAN. TELP : 0812319992XX.  Mungkin, memang itulah penyebab munculnya senyuman itu. Nampak sekali senyuman itu penuh tafsir bagi yang memperhatikannya : senyuman itu senyum penuh harap rumah itu bisa di belinya. Pandangan girang itu menandakan berharap ia dan istrinya bisa menempati rumah itu.

Matahari pelan namun pasti  naik dan mulai condong ke barat. Si satpam itu terkesiap mendengar suara adzan dhuhur. Melihat kondisi pengunjung sepi. Ia pun sholat dhuhur di mushola kecil di sebelah posnya itu. Seusai sholat si satpam itu berjalan gagah laiknya tentara yang mengokang senapan laras panjang. Berhenti di tengah halaman. Berdiri mengangkang laiknya petinju Muhammad Ali berdiri di tengah ring menunggu lawannya muncul dari balik tirai. Celingak-celinguk melihat pengunjung masih sepi ia datengin  rumah sederhana di depan tempat dinasnya itu, laiknya perjaka yang menyamperi prawan di ujung jalan yang duduk sendirian. Si satpam itu berdiri di depan rumah sederhana itu dengan senyuman santun sembari menengadah tangannya dan sayup-sayup terdengar dari bibirnya : “Ya Allah Ya Gusti, dengan kuasa Mu dan izin Mu saya bermohon semoga rumah yang ada di depanku ini bisa saya beli. Amin”

Si satpam itu bertolak menuju posnya. Senyuman itu masih terus terkembang, seperti memberitahukan kepada semua orang bahwa ia sudah meminta kepada Sang Raja Di Raja Alam Semesta, jika rumah itu sudah saya pesan.

Hari demi hari. Minggu berganti menjadi bulan dan terus berganti. Sudah 6 bulan hampir setiap hari si satpam itu memanjatkan do’a kepada Yang Maha Kuasa. Namun senyum si satpam itu makin hari mulai makin menciut. Optimisme untuk memiliki rumah tipe S3[3] itu makin tipis. Gaji bulanan rasa-rasanya hanya cukup untuk menutup lubang bulan kemarin. Sementara gaji bulanan hanyalah satu-satunya pemasukan.

Suatu hari di pekarangan rumah yang sangat sederhana sekali itu ada mobil honda jaz. Di sana tampak tiga orang lelaki: satu bersarung dan yang dua berpenampilan necis dengan kaos oblong. Hampir satu jam mereka hilir mudik di rumah itu. Dan mobil itu meninggalkan rumah itu, dan hanya lelaki bersarung itu yang tampak.

Di depan rumah itu, di seberang jalan tampak si satpam itu lari tergopoh-gopoh mendatangi lelaki bersarung itu. Ia ingin membuang rasa penasaran dan mengklarifikasi kejadian yang dia lihatnya. Lelaki bersarung itu tampak mempersilahkan duduk satpam itu dan mengatakan, bahwa dirinya adalah pemiliki rumah itu dan menjelaskan bahwa kedua orang tadi hendak membeli rumahnya. Namun karena tiada kecocokan harga akhirnya memutuskan tidak jadi membeli. Dirinya hanya menawarkan 450 Juta.

Tampak si satpam berpamitan untuk kembali ke pos. Ia berjalan dengan senyuman yang mulai mengembang lagi. Ia ingin menyampaikan kepada alam bahwa rumah itu pasti akan menjadi miliknya karena do’a-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Ia sangat yakin sebentar lagi rumah itu akan menjadi miliknya. Buktinya tawar menawar dua orang tadi tidak menemukan deal. Do’a itu pasti terkabul, ucapnya dalam senyuman[4]. Meskipun uang tabungan belum ada. Ia optimis mu`jizat itu ada. Ia yakin kalau Allah berkehendak maka tinggal : Kun fayakun[5].

Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Sudah tiga tahun semenjak dua orang itu gagal menawar rumah itu, dan rumah itu masih masih saja menjadi pemandangan gratis bagi si satpam itu. Fantastiknya, si satpam itu makin mengenal Tuhannya. Ia tetap tersenyum optimis do’anya itu tidak akan sia-sia. Dalam senyuman optimis itu, si satpam berbisik mesra kepada Tuhannya: “Ya Allah Ya Robb, dengan izin dan kuasamu berilah hamba ini kesabaran selalu menunggu jawaban dari do’a-do’a hamba”

Satu bulan kemudian, rumah sederhana di depan Bank itu akhirnya memiliki tuan baru. Pemilik baru itu bernama ternyata tetangga dari pemilik lama. Ia jenis orang kaya baru yang bekerja di perkapalan. Konon, orang itu tanpa berbelit menawar rumah itu dan cepat mencapai mufakat harga.

Pagi itu si satpam baru saja tiba di pos kerjanya. Ia masih belum memperhatikan kondisi rumah di depan itu. Tampak lincah sekali si satpam itu bersih-bersih pos dan mencabuti rumput liar di halaman. Hampir se jam ia hilir mudik bersih-bersih sembari mengawasi dan tersenyum ramah dengan pegawai bank itu. Di kursi panjang depan gerbang itu, ia hempaskan tubuhnya sebentar meluruskan tulang-tulangnya. Ia arahkan matanya pada rumah di depan itu. Dan matanya melotot kaget seperti kucing bersantai lalu melihat anjing lewat di depannya. Ia melihat rumah itu sudah bersih terawat dan di teras rumah itu tampak dua anak berlarian dan lelaki separuh baya duduk membaca koran sembari jari-jari tangan kanannya memain-mainkan sebatang rokok. Tukang becak yang nongkrong di depan bank itu mengabarkan bahwa orang itu pemilik baru rumah itu.

Baca Artikel Lain:

Si satpam itu menuju ke pos masih dengan semangat dan senyum yang terkembang. Di depan pos itu ia berdiri gagah mengawasi pengunjung yang berseliweran datang pergi bak lalat-lalat warung yang wira-wiri menghinggapi makanan. Dalam nada lirih si satpam berucap : “Ya Allah Ya Robbi, jikalau memang rumah itu bukan untukku. Aku sudah cukup senang bisa bermunajat intim dengan Engkau. Wujud kasih sayang Engkau pada hamba ini pastinya tidak seperti dugaan semut pada samudra. Ya Allah, sebenarnya Engkau mau memberikan rumah itu padaku atau tidak, itu tidak penting, Ya Allah,yang terpenting  bagiku adalah Engkau tidak marah bagiku. In lam takun ‘alaiyya ghodhobun fala ubali”

Setahun kemudian, satpam gagah itu sudah tidak terlihat lagi berdinas di Bank itu. Penuh teka-teki: Apakah satpam itu kini bunuh diri karena tidak tercapai mimpinya membeli rumah itu? Apakah si satpam itu pulang kampung saja dan menjadi kuli batu, daripada setiap hari sakit hati harus memandangi rumah itu dimiliki orang? Apakah si satpam itu dipecat dari tempat kerjanya karena makin senewen, kerjanya amburadul karena ambisinya yang tak kesampaian itu? Atau, jangan-jangan ia dijebloskan ke penjara gara-gara berbuat anarkis dengan pemiliki baru rumah itu? 

Selidik punya selidik, tukang becak yang biasa ngetime di depan Bank itu mengisahkan setelah tujuh hari rumah di depan bank itu terjual, si satpam itu diangkat menjadi kepala satpam tingkat provinsi membawahi satpam-satpam seluruh jawa timur. Kini, ia bergaji tinggi ditambah tunjangan jabatan, belum lagi fasilitas perusahaan yang ia terima, rumah, mobil dan beasiswa untuk anak-anaknya. Tukang becak mengisahkan juga bahwa kenaikan jabatan yang ia terima itu karena prestasinya menggagalkan perampokan oleh sekelompok orang bersenjata. Satpam itu membekuk sendirian kawanan perampok itu dengan kesaktian yang ia pelajari ketika berguru di kampungnya dulu.

Di akhir kisah si satpam itu di simpulkan : “Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdo`a, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan do`a) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.” (Al-Hikam Pasal 6) 

(Ya Allah Ya Robbi, berilah hambamu terangnya hati, ketetapan iman, selamat dunia dan akhirat)

Incoming  Search:
# Do’a dan terkabulnya do’a # kapan terkabulnya do’a # kenapa do’a tak kunjung terkabul # menunggu jawaban do’a




[1] Mecucu : lawan dari tersenyum
[2] Suwung : Tak berpenghuni
[3] Rumah tipe S3: Sangat Sederhana Sekali.
[4] Baca QS. Al-Baqoroh [2]: 186
 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ :١٨٦

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
[5] QS. Yasin[36]: 82
إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ﴿يس:٨٢

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.


Tentang penulis :

Marzuki Ibn Tarmudzi, pernah mencicipi sedikit segarnya lautan ilmu di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Hobinya yang suka nyorat-nyoret kertas ini dimulai semenjak nyantri. Kini, hobinya itu dituangkan di berbagai media online, itung-itung sebagai aksi dari ; “بلغوا عني ولو أية “,” sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat ”.